Artikel – Di sebuah negeri yang konon demokratis, politiknya kini ibarat musik orkestra megah. Bedanya, di panggung ini tak ada konduktor. Semua alat dimainkan dengan penuh semangat, tapi sayang, tidak ada yang mengatur irama.
Alhasil? Bukan simfoni indah didapatkan, melainkan kekacauan yang menyamar sebagai harmoni.
Semua politisi memainkan peran mereka, memetik senar, meniup terompet, hingga memukul drum dengan keras. Tapi sayangnya, mereka sibuk menyelaraskan nada untuk menyenangkan satu pihak saja yakni sang penguasa!
Oposisi? Ah, sudah lama tak terdengar, mungkin suaranya tenggelam di balik tepuk tangan para penonton di barisan depan yang sudah lebih dulu menikmati jamuan kursi empuk.
Di sini, kekuasaan berjalan tanpa kontrol, tanpa kritik yang berarti. Seperti pemain orkestra yang terus beraksi meski tak ada arahan, politisi di negeri ini terus meluncurkan kebijakan, meski tak ada lagi yang mengingatkan kapan mereka salah nada.
Suara sumbang yang dulu dilantunkan oleh oposisi kini berubah jadi diam sunyi, karena siapa yang mau repot melawan arus ketika koalisi lebih menjanjikan kemewahan?
Dan begitulah, orkestra terus berlangsung, tanpa arah, tanpa irama yang jelas. Rakyat, yang duduk di bangku penonton, hanya bisa mendengar kebisingan yang disamarkan sebagai musik.
Mereka mungkin ingin berteriak, tapi siapa yang akan mendengar ketika seluruh panggung sudah diisi oleh pemain yang sama?
Akhirnya, negeri ini seperti sebuah pertunjukan tanpa akhir. Kekuasaan terus berputar, suara kritis terus tenggelam, dan rakyat hanya bisa menunggu entah kapan orkestra ini menemukan konduktornya kembali.
Tapi sampai saat itu tiba, kita semua hanya bisa berharap, semoga tak sepenuh dan selamanya suara nada itu sumbang.(*)