Opini-Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) di Indonesia seharusnya menjadi instrumen penting dalam mewujudkan transparansi dan akuntabilitas pemerintahan, institusi negara lainnya.
Namun, setelah lebih dari satu dekade diimplementasikan, banyak pihak merasa UU ini belum mencapai harapan yang diinginkan. Mengapa demikian?
Kurangnya Pemahaman dan Kesadaran Publik:
Salah satu akar permasalahan adalah kurangnya pemahaman dan kesadaran masyarakat mengenai hak mereka atas informasi.
Banyak komponen masyarakat yang belum mengetahui atau menyadari bahwa publik memiliki hak untuk meminta dan mendapatkan informasi dari badan publik atau lembaga institusi lainnya. Ketidaktahuan ini menyebabkan rendahnya partisipasi masyarakat dalam mengakses informasi yang tersedia.
Birokrasi yang Berbelit:
Birokrasi yang rumit dan prosedur yang tidak efisien seringkali menjadi penghalang utama dalam akses informasi publik. Proses pengajuan permohonan informasi yang panjang dan berbelit-belit, serta seringkali tidak adanya kejelasan mengenai waktu respons, membuat masyarakat enggan untuk melanjutkan permohonan.
Kurangnya Komitmen dari Badan Terkait:
Beberapa badan publik menunjukkan kurangnya komitmen dalam menjalankan UU KIP. Ada kecenderungan untuk menunda atau bahkan menolak memberikan informasi dengan alasan yang tidak selalu jelas atau valid. Kurangnya sanksi yang tegas terhadap pelanggaran juga memperparah masalah ini, karena badan publik tidak merasa ada konsekuensi yang berarti atas ketidakpatuhan.
Ketidakjelasan Regulasi Pendukung:
UU KIP membutuhkan regulasi pendukung yang jelas dan kuat untuk dapat diimplementasikan secara efektif. Namun, ketidakjelasan atau bahkan ketiadaan regulasi pendukung di beberapa daerah menyebabkan kebingungan dan interpretasi yang berbeda-beda, sehingga menghambat pelaksanaannya.
Teknologi dan Infrastruktur yang Tidak Memadai:
Di era digital ini, teknologi seharusnya menjadi pendorong utama keterbukaan informasi. Sayangnya, banyak badan publik atau institusi lembaga negara yang belum memanfaatkan teknologi informasi secara maksimal. Website yang tidak terupdate, data yang tidak terintegrasi dan sistem informasi yang tidak user-friendly membuat akses informasi menjadi sulit.
Faktor Keamanan dan Privasi:
Beberapa badan publik berdalih faktor keamanan dan privasi sebagai alasan untuk tidak memberikan informasi. Walaupun ada informasi yang memang harus dilindungi, seringkali alasan ini digunakan secara berlebihan untuk menutup-nutupi informasi yang seharusnya bisa diakses oleh publik.
Pengawasan yang Lemah:
Lemahnya pengawasan terhadap implementasi UU KIP juga menjadi faktor penting. Badan pengawas yang seharusnya memastikan pelaksanaan UU ini berjalan dengan baik seringkali tidak memiliki sumber daya atau kewenangan yang cukup untuk bertindak tegas terhadap pelanggaran.
Kesimpulan:
UU KIP sejatinya adalah instrumen yang sangat berharga untuk mendorong transparansi dan akuntabilitas pemerintahan dan lembaga institusi negara lainnya. Namun, tanpa pemahaman yang mendalam, komitmen yang kuat, regulasi pendukung yang jelas, teknologi yang memadai, serta pengawasan yang efektif, UU ini hanya akan menjadi formalitas belaka.
Perlu adanya upaya bersama dari pemerintah, masyarakat dan berbagai stakeholder lainnya untuk mewujudkan keterbukaan informasi yang sebenarnya sesuai dengan semangat UU KIP.
Penulis/Editor-Vilzar Djituberita.com