Yogyakarta – Fenomena calon tunggal dalam Pilkada sering kali memunculkan kekhawatiran akan rendahnya partisipasi pemilih atau meningkatnya angka golongan putih (golput). Dalam kajian dan analisis terbaru,”ujar Dr. Susilastuti DN, M. Si melalui konfirmasi media Djituberita.com,(12/9/24).
Dr. Susilastuti, seorang dosen dan pengamat politik dari Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Yogyakarta, menyoroti potensi dampak dari Pilkada dengan calon tunggal terhadap kualitas demokrasi lokal dan partisipasi pemilih.
Menurut Dr. Susilastuti, Pilkada dengan calon tunggal memang memiliki kecenderungan untuk meningkatkan angka golput. Faktor ini tidak terlepas dari beberapa variabel kunci yang memengaruhi motivasi pemilih untuk tetap menggunakan hak pilihnya,”,kata dia.
Keterbatasan pilihan menjadi salah satu alasan utama. “Dalam demokrasi yang sehat, masyarakat diharapkan memiliki beberapa alternatif pilihan, sehingga mereka merasa bahwa hak pilih yang mereka gunakan memiliki nilai signifikan,” terang Dr. Susilastuti dalam kajiannya.
Apatisme politik adalah faktor lain yang menjadi perhatian serius. Ketika hanya satu calon yang tersedia, pemilih bisa kehilangan minat untuk ikut serta dalam pemilihan, karena merasa hasilnya sudah dapat diprediksi. “Pemilih bisa merasa, ‘untuk apa memilih kalau hasilnya sudah jelas?,”tukasnya.
Sambungnya, menurut Dr. Susilastuti, rasa apatis ini dapat berkembang menjadi rasa ketidakpercayaan terhadap proses demokrasi itu sendiri.
Lebih jauh, Dr. Susilastuti menjelaskan bahwa fenomena calon tunggal juga bisa mencerminkan penurunan kualitas kompetisi politik. Dalam beberapa kasus, calon tunggal muncul akibat kesepakatan atau manuver politik yang dilakukan oleh elite partai.
“Hal ini bisa merusak kepercayaan publik terhadap proses politik yang seharusnya kompetitif dan terbuka,” tegas Dr. Susilastuti. Tanpa persaingan yang sehat, proses pemilihan bisa kehilangan esensi demokratisnya.
Namun, potensi meningkatnya golput bukan berarti tidak dapat diatasi. Dr. Susilastuti menekankan bahwa pendidikan politik dan sosialisasi pemilu yang baik dapat berperan besar dalam mendorong partisipasi.
“Penyelenggara pemilu harus lebih proaktif dalam menyosialisasikan pentingnya hak pilih, meskipun hanya ada satu calon. Pemilih perlu diberi pemahaman bahwa partisipasi mereka tetap penting untuk menjaga legitimasi pemimpin yang terpilih,” ujarnya.
Oleh karena itu, Dr Susilastuti berpandangan untuk mengantisipasi meningkatnya angka golput dalam Pilkada dengan calon tunggal membutuhkan strategi yang tepat dari berbagai pihak, termasuk Komisi Pemilihan Umum (KPU), partai politik, dan pemerintah. Menurut Dr. Susilastuti, ada beberapa langkah yang bisa dilakukan untuk mengatasi permasalahan ini:
1. Sosialisasi yang Masif dan Tepat Sasaran, sosialisasi harus lebih ditekankan kepada masyarakat mengenai pentingnya berpartisipasi dalam pemilihan, meskipun hanya terdapat satu calon. Pemilih harus memahami bahwa pemilu tetap menjadi sarana untuk menentukan arah kebijakan daerah.
2. Meningkatkan Kepercayaan Publik terhadap Proses Demokrasi
Keterbukaan dalam proses seleksi calon, serta transparansi dari partai politik dalam memilih kandidat, dapat membantu mengurangi kecurigaan publik terhadap manuver politik yang dianggap merusak demokrasi.
3. Mengoptimalkan Pendidikan Politik di Masyarakat, pendidikan politik, terutama di daerah yang sering mengalami fenomena calon tunggal, harus diperkuat. Ini bertujuan agar masyarakat memahami peran mereka dalam menjaga kualitas demokrasi, bahkan ketika pilihan calon terbatas.
Dengan pendekatan yang lebih holistik, Pilkada calon tunggal tetap bisa menghasilkan partisipasi yang tinggi, asalkan masyarakat mendapatkan pemahaman yang tepat mengenai pentingnya peran mereka dalam proses demokrasi.
Kajian Dr. Susilastuti menggarisbawahi bahwa Pilkada dengan calon tunggal memang berpotensi meningkatkan angka golput, terutama karena keterbatasan pilihan dan apatisme politik.
Namun, dengan pendekatan yang tepat melalui pendidikan politik dan sosialisasi yang masif, potensi tersebut bisa diminimalkan.
“Esensi demokrasi bukan sekadar soal banyaknya calon, tetapi soal partisipasi masyarakat dalam proses politik,” tutupnya.(*)