Penulis: Dr.Andi Kusuma,SH,.Mkn.CTLK
Opini,Djituberita.com – Kasus mega korupsi tata niaga timah yang baru-baru ini diungkap Kejaksaan Agung telah menggemparkan publik. Perkara ini diduga menyebabkan kerugian negara akibat kerusakan lingkungan yang ditaksir mencapai Rp271 triliun.
Besarnya nilai kerugian tersebut menjadikan kasus ini trending dan menjadi sorotan nasional. Namun, penegakan hukum dalam kasus ini dinilai belum sepenuhnya mencerminkan nilai keadilan karena adanya benturan kewenangan antara penerapan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) dengan Undang-Undang Lingkungan Hidup dan Undang-Undang Minerba.
Sebelumnya Kejaksaan Agung telah menetapkan sejumlah pihak sebagai tersangka dan memvonis hukuman dalam kasus ini, di antaranya:
PT Timah Tbk selaku perusahaan BUMN di sektor pertimahan.
Perusahaan Smelter Swasta, termasuk PT Stanindo Inti Perkasa (PT SIP), yang menjadi mitra kerja PT Timah Tbk.
Beberapa individu, seperti Suwito Gunawan (Komisaris PT SIP) dan MB Gunawan (Direktur PT SIP) dan para tokoh utamanya lainnya.
Muncul pertanyaan besar di tengah publik:
Apakah perusahaan smelter swasta benar-benar terlibat dan memiliki tanggung jawab relevan dalam perkara ini?
Apakah kerja sama peleburan timah dapat dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi?
Apakah terdapat kerugian negara yang relevan dalam kerja sama tersebut
Jaksa Penuntut Umum mendakwa PT SIP dengan sejumlah pelanggaran, di antaranya:
1. Membeli dan mengumpulkan bijih timah dari penambangan ilegal di wilayah IUP PT Timah Tbk.
2. Menerima pembayaran bijih timah dari PT Timah Tbk, meski mengetahui asal bijih tersebut dari penambang ilegal.
3. Melakukan pertemuan dengan pejabat PT Timah Tbk dan pemilik smelter swasta untuk membahas permintaan jatah bijih timah sebesar 5% dari kuota ekspor.
4. Mengadakan perjanjian sewa smelter tanpa studi kelayakan, sehingga harga sewa dianggap tidak wajar.
5. Mendanai kolektor dan penambang ilegal di wilayah IUP PT Timah Tbk.
6. Mengetahui sumber bijih timah ilegal dalam kerja sama dengan PT Timah Tbk.
7. Memberikan dana pengamanan sebesar USD 500–750 per ton kepada Harvey Moeis yang disamarkan sebagai dana CSR
Atas dugaan pelanggaran tersebut, Jaksa Penuntut Umum menjerat MB Gunawan dan Suwito Gunawan dengan:
Pasal 2 ayat (1) jo. Pasal 18 UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor (diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001).
Pasal 3 UU No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).
Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Namun, muncul pertanyaan mendasar: Dimanakah unsur tindak pidana korupsi dan pencucian uang yang didalilkan Jaksa Penuntut Umum?
Kilas Balik Duduk Perkara:
Berdasarkan audit investigasi yang dilakukan Kantor Akuntan Publik Dra. Suhartati & Rekan bersama Kantor Hukum AK LAW FIRM & PARTNERS, ditemukan beberapa fakta:
1. PT SIP hanya sebagai penyewa peralatan peleburan, bukan sebagai perusahaan penambang.
2. Kerja sama peleburan dijalankan secara legal melalui Perjanjian No. 740/Tbk/SP-0000/18-S11.4.
3. Semua produk peleburan berasal dari wilayah IUP OP PT Timah Tbk, bukan dari penambangan ilegal.
4. Harga sewa peleburan ditetapkan oleh PT Timah Tbk, bukan oleh PT SIP.
Perkara ini menimbulkan perdebatan hukum karena:
Kewenangan Jaksa Pengacara Negara (JPN): JPN memiliki peran memberikan pendampingan hukum dan legal opinion kepada BUMN. Jika terjadi kekeliruan kontrak di PT Timah Tbk, dimanakah peran JPN?
Batasan Tanggung Jawab PT SIP: Sebagai perusahaan peleburan, PT SIP tidak terlibat langsung dalam aktivitas penambangan yang menyebabkan kerusakan lingkungan.
Permasalahan Penetapan Kerugian Negara:
Penetapan kerugian negara sebesar Rp271 triliun dinilai tidak mempertimbangkan:
Dasar perhitungan harga peleburan yang telah ditetapkan oleh PT Timah Tbk.
Efisiensi biaya produksi, di mana mesin peleburan PT SIP lebih hemat dibandingkan mesin PT Timah Tbk.
Tidak adanya studi kelayakan dalam perjanjian kerja sama, yang seharusnya menjadi tanggung jawab PT Timah Tbk.
Kesimpulan:
Kasus mega korupsi tata niaga timah ini menjadi ujian besar dalam penegakan hukum di Indonesia. Penetapan tersangka terhadap pihak swasta seperti PT SIP perlu diiringi dengan pembuktian yang objektif dan mempertimbangkan aspek keadilan. Benturan antara Undang-Undang Tipikor, Lingkungan, dan Minerba seharusnya diurai secara cermat agar tidak terjadi kesalahan penegakan hukum yang justru mencederai rasa keadilan.
Jika penegakan hukum tidak mempertimbangkan keseluruhan fakta dan kewenangan secara proporsional, maka pemberantasan korupsi hanya akan menjadi alat politik yang mengorbankan keadilan.(red/*)