OLEH : DR. RR. SUSILASTUTI DN,M.Si Direktur Lembaga Uji /Dosen – UPN Veteran Yogyakarta dan Ahli Dewan Pers
Nasional – Djituberita.com, Ditengah upaya global untuk mewujudkan kesetaraan gender. Bangsa Indonesia mengambil langkah signifikan dengan merevisi persyaratan keterwakilan perempuan dalam lembaga legislatif di tingkat lokal.
Pemerintah telah menggulirkan revisi yang memperluas cakupan persyaratan keterwakilan 30 persen perempuan, yang sebelumnya hanya berlaku untuk kepengurusan partai politik (parpol) di tingkat pusat.
Revisi PKPU 10/2023 itu sejalan dengan ketentuan penghitungan jumlah 30 persen keterwakilan perempuan bakal caleg DPR dan DPRD sesuai dengan amanat Pasal 245 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) dan Pasal 2 ayat (5) juga mengatur bahwa persyaratan keterwakilan 30 persen perempuan yang sebelumnya hanya berlaku untuk kepengurusan parpol di tingkat pusat, kini akan diperluas ke tingkat provinsi dan kabupaten/kota.
Langkah terobosan ini bertujuan untuk mengukuhkan peran perempuan dalam proses pengambilan keputusan di tingkat lokal, sejalan dengan komitmen untuk memperjuangkan kesetaraan gender dalam politik.
Pengambilan langkah ini didorong oleh kesadaran akan pentingnya peran perempuan dalam pembangunan dan pengambilan keputusan, serta mengakui bahwa keberagaman gender adalah aset bagi kemajuan bangsa. Dengan mendorong keterwakilan perempuan yang lebih besar dalam lembaga legislatif, diharapkan kebijakan dan program yang dihasilkan akan lebih mewakili kepentingan seluruh masyarakat, termasuk perempuan dan anak perempuan.
Meskipun langkah ini dianggap sebagai langkah maju dalam mewujudkan kesetaraan gender, masih ada beberapa tantangan yang perlu dihadapi. Salah satunya adalah implementasi yang efektif dari persyaratan keterwakilan perempuan ini di tingkat lokal.
Namun diperlukan kerja sama antara pemerintah, penyelenggara negara, partai politik, dan masyarakat untuk memastikan bahwa persyaratan ini tidak hanya berupa formalitas, tetapi juga dijalankan dengan sungguh-sungguh untuk memberikan dampak yang nyata.
Selain itu, perlu ada upaya untuk mengatasi hambatan-hambatan struktural yang mungkin menghalangi partisipasi aktif perempuan dalam politik, seperti stereotip gender, akses terbatas terhadap sumber daya, dan ketidaksetaraan dalam pembagian alokasi jatah kursi di parlemen .
Hanya dengan mengatasi hambatan-hambatan ini secara komprehensif, kita dapat menciptakan lingkungan yang inklusif dan merangsang partisipasi politik yang merata di antara semua warga negara.
Dengan langkah-langkah ini, Bangsa Indonesia berkomitmen untuk memperkuat keterwakilan perempuan dalam lembaga legislatif di tingkat lokal, menuju cita-cita kesetaraan gender yang lebih luas.
Dalam era di mana keadilan dan inklusivitas semakin dihargai, langkah-langkah ini bukan hanya aturan mengikat, namun merupakan kewajiban moral, tetapi juga investasi dalam masa depan yang lebih adil untuk berkelanjutan bagi semua warga negara.(*)