Penulis /Koresponden :
Sujadmi & Bahjatul Murtasidin
Mahasiswa UBB Jurusan Sosiologi/lmu Politik dan pemerintahan
DjituBerita.Com,Sengkarut sektor pertambangan diprovinsi Kepulauan Babel, akibat penataan ruang yang masih tumpang tindih. Padahal, kerangka dasar bangunan paradigma tentang penataan ruang telah lama terkonstruksi dengan menggunakan metode dialektika ruang.Termasuk dinamika dalam perda RZWP3K telah menjadikan ruang laut sebagai arena kontestasi kepentingan oleh beragam aktor. Sulitnya mengatur ruang
(laut) secara proporsional, optimal dan berkesinambungan terlihat dari proses panjang penyusunan Perda RZWP3K di Bangka Belitung,antara eksekutif – legislatif di negeri serumpun sebalai jauh sebelum penetapan Perda RZW3K di sah kan.
Penyusunan rencana pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil itu baru dapat terlaksana dengan baik dan
berkeadilan,apabila mengakomodir berbagai pihak serta ada kajian Ilmiah ahli pakar hukum yang berkompeten.
Perencanaan itu terdiri dari empat hirarki, yakni mulai dari rencana strategis yang memberi arah kebijakan lintas sektor, rencana zonasi yang menjaga keseimbangan ekologi dan ekonomi dalam tata ruang terpadu, rencana pengelolaan hingga penyusunan rencana aksi pengelolaan wilayah pesisir dan pulau pulau kecil tersebut.
Prosesnya penyusunan Perda ini seiring sejalan dengan konflik tambang yang masih terjadi. Walaupun eskalasi konfliknya berbeda-beda. Seperti misalnya di wilayah Bangka Selatan, tepatnya di wilayah Batu Perahu dan sekitarnya, dalam temuan fakta di lapangan berbanding terbalik.
Ini menunjukkan bahwa ternyata, jauh sebelum perda ini disusun, kelompok nelayan di wilayah ini secara tegas menolak kegiatan pertambangan di wilayah pesisir, apalagi Perda RZWP3K memberikan ruang “tambang” kepada penambang (BUMN/swasta) di wilayah tersebut.
Dalil nelayan,laut akan rusak apabila ditambang sedangkan reklamasi atas kerusakan tersebut diyakini tidak pernah ada dan tidak pernah dilakukan. Kedua, tidak ada jaminan keamanan bagi aktivitas nelayan apabila diberi peluang kehadiran kegiatan penambangan meskipun legal Sementara itu, cadangan timah dimulai dari daratan pantai melewati lokasi tambat perahu hingga wilayah perairan lokasi tangkapan ikan.
Fakta lapangan telah membuktikan bahwa kehadiran Kapal Isap Ponton (KIP) akan mendatangkan tambang-tambang apung ilegal yang kemudian akan menjadi semakin tidak terkendali . Oleh karena itu, politik resistensi jelas mereka lakukan,selama proses penyusunan Perda RZWp3K, motif protes yang dilakukan oleh nelayan Batu Perahu dapat tergambar sebagai berikut:
Konstruksi Bagan -I
Dari gambar di atas, dapat disimpulkan bahwa penolakan nelayan terjadi akibat
pergeseran tambang timah ke wilayah pesisir. Jauh sebelum bergeser ke wilayah pesisir ke aktivitas pertambangan dilakukan di daratan, sehingga tidak mengganggu aktivitas nelayan diwilayah perairan. Geliat resistensi semakin terlihat setelah 0-12 Mil dinyatakan sebagai wilayah tambang. Kondisi ini jelas semakin membuka ruang bagi para pemburu timah diwilayah pesisir untuk mengeksploitasi timah.
Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa pertimbangan rasional untung rugi yang akan didapat,
ataupun idealisme kearifan ekologis menjadi alasan kuat atas penolakan nelayan Batu Perahu, Bangka Selatan.
Memang harus diakui bahwa Perda RZWP3K sebagai instrumen pengaturan ruang (laut) di Bangka Belitung tidak dapat mengakomodir seluruh kepentingan dari berbagai pihak.Akan tetapi, 79 persen alokasi ruang RZWP3K digunakan untuk kepentingan publik. Zonasi tersebut akan dibagi untuk perikanan tangkap seluas 60,84%,,budidaya seluas 4,36%,konservasi 14,24%,sektor pelabuhan 1,7% ,Industri 3,25% dan pariwisata 3,25 %
Politik resistensi ini bukan tanpa alasan. Beberapa faktor penyebab nelayan melakukan protes yaitu pertama, mereka menolak 0-12 mil sebagai wilayah tambang, sehingga jalur nelayan terganggu, dan akan berdampak pada jumlah tangkapannya.
Perebutan akses dan konflik pemanfaatan atas ruang laut di Kepulauan Bangka Belitung merupakan konsekuensi logis atas sifat laut yang open access, dimana hampir 80% wilayah provinsi ini adalah lautan dan pesisir. Berangkat dari kondisi tersebut, penelitian ini dilakukan untuk menjawab bagaimana konflik kepentingan memperebutkan ruang laut antara berbagai aktor, yakni masyarakat, swasta, dan pemerintah berlangsung. Dengan meminjam pendekatan sosio-spasial dari Levebvre.
penulis ingin menunjukkan bahwa pemerintah sebagai regulator akan sangat sulit mengabaikan nilai guna atas suatu ruang laut. Oleh karena itu, pemerintah perlu menjadi regulator sekaligus fasilitator dalam menjembatani beragam kepentingan aktor dalam akses dan pemanfaatan ruang laut. Dengan menggunakan metode kualitatif deskriptif, penelitian ini menunjukkan bahwa dalam penyusunan Perda Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K) berjalan secara dinamis bahkan menjadi arena kontestasi konflik kepentingan. Di satu sisi, kesejahteraan nelayan dan potensi kekayaan alam di laut (timah) perlu dioptimalkan untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Namun, pada sisi yang berseberangan, aspek ekologi atas dampak dari aktifitas penambangan timah di laut juga wajib diperhatikan. Perda RZWP3K adalah sarana yang mengakomodir konflik kepentingan yang terjadi.
Jurnal Ilmiah Ilmu Pemerintahan tertuang dalam Peraturan Daerah (Perda) No.3 Tahun 2020 tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K). Perda ini disusun dengan sangat dinamis karena menjadi arena kontestasi berbagai aktor yang berkepentingan dalam pemanfaatan sumber ekonomi kelautan yang terkandung di dalamnya. Oleh karena itu, tulisan ini mencoba menjelaskan tentang konflik antar aktor dalam pembentukan Perda ini. Kajian ini menggunakan metode kualitatif deskriptif dengan sumber data priemer berasal dari 11 informan, yang terdiri dari perwakilan kelompok nelayan, masyarakat yang berprofesi sebagai nelayan, dan aparat desa. Sumber data primer ini didukung oleh data sekunder sebagai penguat kajian yan berasal dari dokumen-dokumen relevan dengan kajian. Data diolah dengan menggunakan model analisis interaktif yang dikemukakan untuk menganalisis data dalam penelitian ini. Model analisis ini terdiri dari pengumpulan, reduksi, penyajian data dan terakhir adalah penarikan kesimpulan Sosio-Spasial: Pendekatan dalam Penataan Ruang Laut Peningkatan kualitas kesejahteraan hidup masyarakat dan lingkungan sekitarnya dapat dilakukan dengan penataan ruang.
Penataan ini haruslah diawali dengan perencanaan tata ruang sebagai fase awal yang sangat penting. Hal ini disebabkan karena perencanaan dalam tata ruang merupakan elemen dasar yang sangat vital bagi pengendalian dan pemanfaatan ruang sekaligus. Beberapa faktor yang dijadikan bahan pertimbangan dalam perencanaan ini diantaranya adalah kegiatan ekonomi masyarakat laut dan pesisir, termasuk kawasan-kawasan budidaya dan pelestarian kawasan lindung. Seluruh kepentingan idealnya dapat diakomodir dalam proses perencanaan penataan ruang sehingga tidak ada persoalan dalam pemanfaatan ruang laut.
Sebagai provinsi kepulauan,
Bangka Belitung memiliki luas wilayah sebesar 81.582 kilometer persegi. Hanya 21 % berupa daratan (setara dengan 16.281 KM2), sedangkan sisanya seluas 79 % (65.301 KM2) merupakan lautan. Artinya, provinsi ini memiliki wilayah pesisir yang sangat luas, dengan luasnya wilayah pesisir yang dimiliki, Bangka Belitung dihadapkan pada persoalan pemanfaatan ruang laut. Tumpang tindih regulasi dan pemanfaatan ruang laut yang berujung pada konflik kepentingan berakibat pada tidak optimalnya pemanfaatan ruang laut di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.
Padahal, ruang laut bernilai guna yang setara dengan waktu yang idealnya menjadi leading sector pembangunan sekaligus bargaining position bagi Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Dengan julukan sebagai pulau timah, seharusnya royalti atas eksploitasi kekayaan alam ini mampu menjadikan provinsi ini sebagai daerah maju dengan pembangunan yang merata.
Tetapi realita yang terjadi adalah bahwa kontribusi timah terhadap PAD langsung tidak seberapa besar dimana Pemerintah Bangka Belitung hanya dapat 3% dari total laba perusahaan dan itu pun dibagikan lagi untuk berbagai sektor pembangunan. Timah juga seharusnya menjadi daya tawar (bargaining position) dengan pemerintah pusat untuk memperoleh berbagai program pembangunan strategis nasional.
Sumber : Diolah dari UU No.27/2007 jo UU No 1 Tahun 2014
Keempat alokasi ruang tersebut di atas, diakomodir dalam Peraturan Daerah RZWP3K nomor 3 Tahun 2020. Secara garis besar, perda ini terdiri dari 4 (empat aspek), yaitu perencanaan, pengelolaan, pengawasan, dan pengendalian. Keempat aspek ini merupakan panduan interaksi dalam memanfaatkan sumberdaya dalam upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara berkelanjutan.
Konflik, Negosiasi dan Kontestasi Kepentingan dalam Perda RZW3K :
Ruang pada dasarnya adalah sebuah area sekaligus alat yang dapat berfungsi
untuk melestarikan tatanan ekonomi-politik. Karakteristik dari ruang adalah interaktif dari kelompok aktor pemerintah, masyarakat dan swasta (pengusaha).
Oleh sebab itu, konflik dan kontestasi antar aktor dalam praktik tata ruang pun tidak dapat terhindarkan.
Demikian pula praktik penataan ruang laut di Bangka Belitung. Sulit
untuk dibantah bahwa praktik penataan ruang laut melalui RZWP3K ini tidak dapat terlepas dari konflik dan kontestasi berbagai aktor yang berkepentingan. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah mengapa hal ini bisa terjadi ? Setidaknya terdapat (lima) alasan yang bisa dijadikan bahan analisis. Pertama, ruang pada dasarnya adalah produk politik dan instrumen bagi perubahan sosial ekonomi yang tidak netral.
Oleh karenanya, ruang memiliki karakteristik yang sangat interaktif antara pengusaha (investor/kapitalis), pemerintah (negara), dan masyarakat. Kedua, ruang dapat memainkan peranannya sebagai fungsi sosio-ekonomi. Ketiga, sifat /karakter
ruang sebagai objek hidup bergerak dan saling bertabrakan dengan ruang lainnya.Keempat kontestasi penataan ruang pada dasarnya adalah perjuangan dari kelas-kelas untuk mendapatkan dan menguasai kegiatan produksi dan reproduksi dalam ruang itu. Kelima, ruang merupakan instrumen politik yang memiliki nilai guna.
Oleh karenanya, keberpihakan aktor yang membuat regulasi tata ruang sulit untuk dihindari.
Persoalan ruang laut yang masih tumpang tindih di Bangka Belitung telah berakibat pada konflik pemanfaatan sektor kelautan, terutama konflik penambangan timah yang telah bergeser dari daratan ke pesisir. Petaka konflik pertimahan di Bangka Belitung dapat teridentifikasi sekurang-kurangnya oleh dua faktor. Pertama, sejarah masa lalu yang menujukkan bahwa timah telah menjadi komoditas konflik oleh elit-elit penguasa sejak dari dulu. Kedua, kekacauan tata ruang daerah Bangka Belitung akibat deregulasi kebijakan pertimahan nasional,sebelum tahun 2000 kegiatan pertambangan timah sebenarnya dilakukan secara sentralistik oleh negara, dimana hanya perusahaan yang diberi izin oleh pemerintah pusat saja yang dapat.
Sejak timah terbuka dan bebas di era pasca orde baru, muncul kompetitor perusahaan timah negara yang ikut mengeksploitasi timah,
termasuk di kawasan pesisir. Jika dulu penambangan lepas pantai hanya menjadi monopoli perusahaan tambang timah yang memperoleh ijin dari pemerintah pusat saja, maka sejak reformasi bergulir konsesi penambangan timah lepas pantai seakan menjadi milik semua,ibarat buah simalakama yang dihadapi
Ruang laut dan pesisir Bangka Belitung
yang notabene-nya barang publik yang dikuasai negara, mengandung potensi ekonomi kelautan (terutama timah) yang harus dioptimalkan untuk pembangunan daerah. Akan tetapi peranan komoditas timah untuk Bangka Belitung belum optimal.Hal ini terlihat dari Pendapatan Asli Daerah (PAD). Hanya 3% dari total laba perusahaan penambang timah dan itu pun dibagikan lagi untuk berbagai sektor pembangunan.
Hal ini diperparah dengan kerusakan dan degradasi lingkungan yang terjadi akibat dari semakin tidak terkendalinya penambangan.
Hasil PAD yang tidak optimal dan potensi kerusakan lingkungan di wilayah laut ini menjadi salah satu penyebab benturan kepentingan. Akibatnya, konflik tidak dapat terhindarkan.
Karakter konflik tambang timah yang terjadi di Bangka Belitung berbeda dengan konflik tambang diwilayah lainnya.Konflik tambang timah di Bangka Belitung ini setidaknya dapat didekati dengan 4 (empat) isu.
Yaitu (1) persoalan dalam mengakses sumber daya (timah), (2) persoalan lahan yang terdampak dari aktifitas penambangan timah, (3) persoalan degradasi lingkungan sebagai akibat aktifitas penambangan, dan (4) persoalan pemberdayaan masyarakat. Keempat persoalan tersebut pada prinsipnya tidak terlepas dari aktor Stakeholder – Pemerintah / masyarakat/ perusahaan,/spekulan ( pemodal) dan aparat keamanan yang terlibat dalam proses eksploitasi sumber daya timah dan bagaimana relasi diantara ketiganya terdapat berbagai sikap dan reaksi yang ditunjukkan oleh pihak berkepentingan dalam konflik tambang timah di kepualauan Bangka Belitung.
Setidaknya terdapat (3) bentuk sikap.:
Pertama, akomodatif moderat. Kedua, resistensi/ protes keras. Ketiga, abu-abu
karena kelompok masyarakat terbelah menjadi pro dan kontra
Semua pihak mengklaim pemanfaatan kekayaan sumber daya dalam wilayah yang sama,,pesisir adalah berkah. Namun, asumsi pertambangan, terutama yang berkarakter konvensional-ekstraktif, merusak kelestarian ekosistem yang menjadi syarat utama keberlangsungan usaha kelautan, perikanan, dan juga wisata pesisir.
Lebih kompleks, konflik ini juga berlangsung dalam tatar vertikal dan horizontal.
Dilema kewenangan antar tingkat otoritas pemerintah dan penegak hukum, juga antara pemerintah daerah, masyarakat, dengan korporasi negara, adalah sebuah bentuk konflik hierarkial. Konflik antar pemerintah pada level street bureaucracy (Desa/Kelurahan) dengan warganya sendiri, ataupun friksi antara kelompok pro dan kontra terhadap pertambangan laut.
contoh konflik horizontal.
Saling klaim arena kuasa atas wilayah pesisir adalah bentuk pertikaian paling kentara dalam debat konflik terbuka pertambangan timah laut di Bangka Belitung.
Pemilik IUP dan pengusaha merasa paling berhak atas rencana usaha pertambangan dengan dalil legalitas dan perwujudan dari otoritas negara. Sementara warga pesisir sebagai penghuni sejak lama dengan segala aktivitasnya tak ingin penghidupannya terganggu oleh eksternalitas pertambangan laut.
Masyarakat pesisir yang mengakomodir kehadiran tambang laut tetap saja dimotivasi oleh rasio ganti rugi yang juga berangkat dari klaim sebagai pemilik kuasa atas lahan/wilayah pesisir, ditambah dengan kehadiran tren baru pembangunan pariwisata yang turut mengoptimalisasikan potensi pesisir.
Kompleksitas persoalan di atas, pada dasarnya telah menuntut negara untuk hadir dalam posisi yang lebih powerfullness dan paling menentukan dalam konflik pertambangan timah laut di kawasan pesisir Bangka Belitung agar tidak berlarut-larut.
Oleh karena itu, pemerintah perlu merumuskan pilihan optimalisasi sumber daya yang komprehensif pada zona pesisir. RZWP3K merupakan hasil akademik yang menyarankan perlunya pengaturan pemanfaatan tata ruang laut,dalam konteks Bangka Belitung.
penyusunan dokumen RZW3K menimbulkan permasalahan rumit sehingga proses penyusunan sampai pengesahannya pun memakan waktu relatif lama. Sekurang kurangnya, teridentifikasi 3 (tiga) penyebab utamanya. Pertama penetapan batas zonasi laut harus diakui bahwa lebih sulit untuk dilakukan karena tidak ada data ruang yang cukup dan konsisten, sifat multidimensional lingkungan laut, dan kekurangan informasi tentang sumber daya laut yang akurat danlengkap, dan terkini Selain itu, simpang siur isu, wacana, dan polemik yang direkonstruksi di masyarakat,serta proses komunikasi yang tersendat antar pihak berkepentingan ikut menjadi trigger utama konflik tambang timah di wilayah pesisir sehingga sangat menghambat proses penyusunan dan penetapan perda RZWP3K.
Penyebab kedua, zonasi pada dasarnya berkaitan erat dengan political environment, politik penguasaan dan pemilikan sumber daya alam dan perdagangan produk turunannya.
Dalam hal ini politik berkaitan dengan kekuatan dan kekuasaan
pasar yang sulit untuk dilawan. Penyebab ketiga, hasil studi yang mendorong penciutan WIUP perusahaan tambang terutama milik PT. Timah (Persero) , padahal perusahaan sudah mendapatkan izin terlebih dahulu. Kondisi ini tentu menjadikan proses penyusunan menjadi proses penyusunan menjadi lebih lama karena ada tarik ulur kepentingan.
Pilihan sikap antar pelaku usaha di kawasan pesisir adalah sama-sama saling mengklaim bahwa semua pihak mengoptimalisasi keuntungan versi sendiri dengan menegasikan
eksistensi pihak yang lain.
Bagan Proses perebutan sumber daya timah di kawasan pesisir Bangka Belitung.
Penutup artikel :
Konflik, negosiasi dan kontestasi kepentingan ekonomi politik merupakan
dinamika dalam proses penyusunan Perda RZWP3K yang terjadi di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Kondisi ini adalah konsekuensi logis yang memang tidak bisa terhindarkan karena aktivitas penambangan timah diwilayah laut yang mulai masif setelah deregulasi pertimahan nasional, telah terjadi selama belasan tahun, tetapi
regulasi tentang pemanfaatan ruang laut belum ada. Padahal, jauh sebelum pergeseran aktivitas penambangan terjadi, laut adalah sumber penghidupan para nelayan sehingga konflik kepentingan dalam pemanfaatan ruang laut ini pun terjadi. Oleh karena itu
pengaturan ruang laut mutlak untuk dilakukan agar pemanfaatan sumber daya alam yang terkandung didalamnya dapat dikelola secara berkelanjutan.
Perda RZWP3K adalah wujud konkrit penataan ruang laut untuk pemanfaatan
sumber kekayaan alam yang terkandung didalamnya. Hasil penelitian ini adalah dinamika konflik dan negosisasi selama proses penyusunan perda ini menunjukkan bahwa ruang laut adalah arena kontestasi. Dalam konsep sosio-spasial, pemerintah sebagai regulator sekaligus fasilitator sulit untuk mengabaikan nilai guna atas ruang laut, sehingga dalam pemanfaatnnya harus diatur.Tetapi dalam proses penetapan
Perda-nya, pemerintah tidak bisa bersikap netral terhadap kepentingan antar aktor, Hal ini terlihat dari kepentingan-kepentingan berbagai pihak yang diakomodir oleh pemerintah melalui zonasi wilayah pemanfaatan ruang laut di Bangka Belitung.
Sumber : Jurnal ilmiah Ilmu Pemerintahan
Perlu diketahui :
Pemerintah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (Babel) pada tanggal 27 April 2020 menerbitkan Perda No. 3 Tahun 2020 tentang RZWP3K Provinsi Kepulauan Bangka Belitung Tahun 2020-2040,berarti masa berlaku perda ini akan berlangsung selama 20 tahun.
Dilansir babelprov.go.id :
Rancangan Peraturan Daerah Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau–Pulau Kecil (Raperda RZWP3K) Provinsi Kepulauan Bangka Belitung yang disetujui untuk ditetapkan menjadi peraturan daerah adalah upaya untuk memuaskan semua pihak.
Pernyataan itu diungkapkan Gubernur Kep. Bangka Belitung (Babel), Erzaldi Rosman, saat menghadiri Rapat Paripurna Pengambilan Keputusan DPRD Kepulauan Bangka Belitung terhadap Raperda RZWP3K, di Ruang Rapat Paripurna DPRD Babel, Jumat (28/02/2020).
RZWP3K ini telah menampung dan merupakan masukan serta aspirasi dari keinginan masyarakat yang merujuk pada kepentingan umum.
Dijelaskan Gubernur Erzaldi Rosman, Perda RZWP3K merupakan suatu usaha dan upaya untuk memuaskan semua pihak, walaupun ada pihak-pihak tertentu dalam hal ini yang merasa tidak puas.
Gubernur Erzaldi Rosman berharap setelah penetapan, proses akan dijalankan lebih baik lagi ke depan, mengingat banyak hal yang menyebabkan keterlambatan dalam pengesahan RZWP3K ini.
Selanjutnya, pemprov. akan menyosialisasikan Perda RZWP3K kepada masyarakat. “Kalaupun masih ada kekeliruan, masih bisa berkembang, dengan penyesuaian di masa lima tahun ke depan,” jelasnya.
“Semoga hasil dari paripurna yang dilaksanakan ini dapat betul betul memberikan manfaat. Keputusan yang diambil ini dapat kita laksanakan dengan sebaiknya dengan tujuan utama beribadah untuk menyejahterakan masyarakat,” ungkap Gubernur Erzaldi Rosman
Setelah mendengar pandangan akhir dan pengambilan keputusan dari ketujuh fraksi, hanya ada satu fraksi yang menolak. Hingga akhirnya, Raperda RZWP3K akan ditetapkan menjadi peraturan daerah.
Oleh sebab itu, pihaknya mengharapkan pihak Pemprov. Kep. Bangka Belitung untuk menindaklanjuti hasil rapat paripurna ini.
Pada kegiatan ini juga dilakukan penandatanganan keputusan bersama oleh Gubernur Erzaldi Rosman dan Ketua DPRD Prov. Kep. Babel pada tanggal ditetapkan pengesahan perda RZWP3K di paripurnakan.
Turut hadir dalam rapat paripurna tersebut, unsur Forkopimda Kep. Babel, Wakil Gubernur, Abdul Fatah, Kepala Perangkat Daerah, Pimpinan Instansi Pemerintah, Vertikal, dan Swasta di Lingkup Pemprov. Kep. Babel serta tamu undangan lain.
Catatat khusus – redaksi www.djituberita.com :
Perda Provinsi dan Peraturan Gubernur dan/atau Perda kabupaten/kota dan Peraturan Bupati/Walikota yang jika bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan asas pembentukan peraturan perundang undangan yang baik dapat dibatalkan.
MK melalui Putusan MK No. 137/PUU-XIII/2015 terkait pengujian beberapa pasal UU No. 23 Tahun 2014 yang dibacakan pada Rabu (5/4/2017) lalu. Salah satunya, Pasal 251 ayat (2), (3), (4), (8) UU Pemda terkait mekanisme pembatalan perda kabupaten/kota oleh gubernur dan mendagri yang dinyatakan inkonstitusional/bertentangan dengan UUD 1945. Baca Juga: Catat!!! Kini Pembatalan Perda Kabupaten/Kota Wewenang Mahkamah Agung (MA)
Mahkamah beralasan Pasal 251 ayat (2) dan ayat (3) UU Pemda yang memberi wewenang menteri dan gubernur membatalkan Perda Kabupaten/Kota selain bertentangan peraturan yang lebih tinggi (UU), juga menyimpangi logika bangunan hukum yang telah menempatkan Mahkamah Agung (MA) sebagai lembaga yang berwenang menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang. Dalam hal ini, Perda Kabupaten/Kota, seperti ditegaskan Pasal 24A ayat (1) UUD 1945.
Pembatalan Perda Kabupaten/Kota melalui keputusan gubernur sebagai wakil pemerintah pusat seperti diatur Pasal 251 ayat (4) UU Pemda pun, menurut Mahkamah tidak sesuai rezim peraturan perundang-undangan yang dianut Indonesia. Merujuk Pasal 7 ayat (1) dan Pasal 8 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan tidak mengenal keputusan gubernur sebagai salah satu jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan.
Di sisi lain, ada potensi dualisme putusan pengadilan antara putusan PTUN dan putusan pengujian Perda oleh MA terhadap substansi perkara yang sama. Ini bisa terjadi ketika Perda Kabupaten/Kota dibatalkan melalui keputusan gubernur, lalu digugat PTUN. Hal ini menimbulkan ketidakpastian hukum yang dilindungi Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Karena itu, demi kepastian hukum dan sesuai UUD 1945, menurut Mahkamah pengujian atau pembatalan Perda menjadi ranah kewenangan konstitusional Mahkamah Agung (MA).
Sumber – Hukum Online. Com